Kesepakatan 12-12-12
Desember 12, 2012Tulisan ini dipindahkan dari akun wordpress saya
***
Jam 12 teng!
Tanggalpun berganti, menjadi 12-12-12.
Was-was menyelimuti wanita berkerudung coklat itu. Hari yang cukup tegang, pikirnya.
Hatinya ketar-ketir. Sudah kesekian kalinya ia hampir spot jantung berada di antara teriakan utusan perserikatan.
Dimulai dengan lagu Bongkar besutan Iwan Fals, yang
bertalu-talu memenuhi udara sebuah Perusahaan. Para buruh berseragam
laut itu digiring ke depan gedung. Mereka bagai semut yang keluar dari
sarangnya. Banyak sekali. Ada lebih dari seribu orang jumlahnya.
Mengorasikan sesuatu.
Tak lama, kaum hawa diungsikan semua ke dalam Masjid. Wanita
berkerudung coklat itu berkali-kali bicara pada salah satu utusan
perserikatan. Berharap kaum hawa dipulangkan saja. Apalagi yang baru
saja selesai sift dua, pasti mereka lelah ingin segera melenturkan
ototnya. Tapi, tidak bisa. Tidak ada bus jemputan yang bersedia
mengantarkan mereka. Dan belum ada instruksi untuk membolehkan mereka
beranjak dari sana, meskipun mereka adalah wanita. Sampai sebuah kesepakatan didapatkan.
“Maaf ga bisa, Teh! Biar ngerasain perjuangan yang lain
juga. Kan udah dikasih keringanan diungsikan ke dalam Masjid,” ujar
salah satu utusan perserikatan. Baiklah, tak ada pilihan lain, wanita
berkerudung coklat itu, akhirnya manut juga untuk tetap diam di dalam
Masjid.
Dipandanginya setiap sudut Masjid yang baru berdiri satu tahun yang
lalu itu. Warna putih mendominasi bangunannya. Ada dua lantai. Lantai
atas menjadi tempat mengungsi mereka.
“Udah lama aku pengen masuk ke Masjid ini lagi. Dan sekarang, aku dsini.
Tapi gak pengen kayak gini caranya…” wanita berkerudung coklat itu
bicara pada tembok. Berharap Masjid itu memaklumi kedatangan mereka yang
mendadak begitu rupa.
“Kapan pulangnya ini, Teteh?” pertanyaan yang berulang kali terdengar. Entah itu dari yang muda ataupun yang sudah lebih lama bekerja di sana.
Wanita berkerudung coklat itu menggelengkan kepala dengan lemah. Selain
kantuk, di pelupuk matanya terbayang tugas makalah yang belum rampung ia
kerjakan. Sedangkan tak ada yang bisa menjamin sampai kapan ia bertahan
di sana.
“Udah mending kita tidur aja! Daripada nangis gitu.” Hiburnya pada salah
satu kawannya yang baru dua minggu bekerja di Perusahaan itu. Masih fresh graduate.Pasti belum pernah tergambarkan suasana tegang seperti ini di benaknya.
“Ga bisa tidur, Teh,” keluh salahsatu anggota pengungsi itu.
Wanita berkerudung coklat itu mengerti. Lantai dingin tanpa alas begini,
tak memungkinkan mereka untuk tidur menyenyakkan diri. Ditambah suasana
tegang masih mengudara di sana.
Para kaum pria, sedang berkoar-koar di bawah sana. Di ujung depan gedung Perusahaannya.
Bahkan issuenya, tak ada yang boleh pulang sampai dua hari ke depan bila kesepakatan tak didapatkan.
Mendengar hal tersebut, Wanita berkerudung coklat itu menelan ludah. Tak berharap lebih lama lagi ketegangan itu berlangsung.
Demi membantu mereka yang di bawah sana, kaum hawa merapat duduk
membentuk lingkaran. Mereka bersama-sama berdoa. Semoga apa yang sedang
dirundingkan, dapat menuai hasil sebagaimana baiknya. Dan tentu saja,
agar mereka bisa lebih cepat pulang dan istirahat di rumah.
Alfaatihah…
Wanita berkerudung coklat itu tercengang, ketika dilihatnya banyak
orang, (kaum adam) yang mencoba memejamkan mata untuk sejenak tidur di
luar Masjid sana. Beralaskan kardus saja. Berselimutkan angin malam yang
menusuk tulang.
“Apa yang sebenarnya arti kesepakatan?” Tanya wanita berkerudung coklat itu tak tega, kepada angin yang meliuk melewatinya.
Subuh menggema, belum ada tanda-tanda kesepakatan juga. Pasokan makananpun belum ada. Lapar dan haus mengusik mereka.
Untuk pertama kalinya, wanita berkerudung coklat itu menyaksikan semburat terbit Matahari di atas Masjid Perusahaannya itu. Subhanallah…
Matahari yang juga ikut berdoa, agar setiap perundingan berakhir dengan sebaik-baiknya.
Pukul enam sudah, dan tak ada lagi yang matanya terpejam, meski sebenarnya tak ada yang benar-benar bisa terpejam dengan tenang.
Demi fokus untuk menyelesaikan perundingan.
Pasokan makanan datang juga akhirnya. Lumayan untuk mengganjal perut
mereka. Diamatinya nasi bungkus dihadapannya, wanita berkerudung coklat
itu teringat saudaranya yang di luar sana, di luar gedung sana, jauh di
tempat kenyamanan sana. Saudaranya yang biasa tidur di kolong jembatan,
atau di trotoar jalanan, atau di depan ruko-ruko yang entah sudah
menemukan sarapan atau belum seperti dirinya.
Tiba-tiba perutnya melilit, bukan karena nasinya tidak enak, tapi karena
membayangkan apa jadinya bila ia ada di posisi para saudaranya yang
baru saja ia ingat itu. Wanita berkerudung coklat itu menghela nafas,
semoga mereka sudah sarapan juga. Karena pasti mereka tidak punya
perserikatan. Lagi pula, mereka harus ‘bersepakat’ dengan siapa?
“Ayo, Nak… Sebentar lagi kita pulang!” seperti seorang guru mengajak
pulang anak playgroupnya, seorang utusan perserikatan membuyarkan
lamunan wanita berkerudung coklat itu.
Wajah para ‘pengungsi’ itu mencerah. Beranjak menuju gedung depan. Di mana saudara-saudara semarganya sudah siaga kembali.
“Aduh, kasihan ya nanti yang bersihin gedung ini. Padahal mereka tak
ikut menerima hasil perundingan ini” ujar kawan wanita berkerudung
coklat itu, mewakili apa yang ada di pikirannya. Ia menghembuskan nafas
dengan berat lagi, ketika sampah bekas makanan para perunding itu
bergelimpangan di mana-mana. Padahal di setiap sudut bangunan itu, tong
sampah sudah siap siaga dua puluh empat jam. Oh, mungkinkah karena
kecewanya tong-tong sampah itu tidak lebih penting dari urusan
kesepakatan?
Suara para perunding kembali berdentang. Saat cemas di sebagian hati
kaum hawa, kembali mengguncang. Hm, kapankah mereka bisa pulang? Sedang
Bus jemputan tak ada satupun yang bersedia datang.
Dengan langkah masygul, wanita berkerudung coklat itu mengikuti kawan
wanitanya yang lain. Menuju parkiran. Untuk mencoba pulang duluan.
Meskipun hanya mengandalkan kalimat ‘bagaimana nanti saja cara
pulangnya’.
Namun sebelumnya, mereka berbelok dulu ke klinik. Bukan karena ada
yang sakit, tapi hanya sekedar ingin tahu berat tubuh mereka. Haha,
wanita berkerudung coklat itu tertawa, ketika berat badannya turun jauh
dari yang ia kira. Ah, ia jadi ingat sesuatu. Susah payah ia berusaha
menaikkan berat badannya, dan ketika sudah berhasil, ternyata ia tak
bisa menjaga keberhasilannya. Dan harus rela ketika ditanya ‘koq
sekarang kurusan?’, sejak ia sempat kehilangan selera makan karena
sebagian porsi semangatnya mundur teratur ditelan takdir.
Wanita berkerudung coklat itu kini mencoba tersenyum, tak ada yang
harus disesali. Semua ada masanya, begitu nasehat sejuk dari kawannya.
Termasuk soal berat badan. Nanti juga gemuk lagi. Yang penting sehat,
pikirnya lagi.
Di depan parkiran, wanita berkerudung coklat itu kembali resah.
Pasalnya, tak ada hujan tak ada ojek tak ada becek! Halah! Maksudnya tak
ada ojek atau kendaraan lain yang sudi menampung mereka pulang.
“Di mana-mana juga gini, Neng. Ga ada fasilitas untuk pulang duluan,”
ujar utusan perserikatan yang sudah berusaha meski gagal menghentikan
kendaraan roda empat yang lewat.
Karena tak ada yang menjemput, maka, duduk-duduklah para wanita itu
di trotoar. Menunggu keajaiban datang. Sedang tatapan prihatin pengguna
jalan yang kebetulan lewat, sudah tak dianggap aneh lagi. Toh, ini sudah
kesekian kalinya perusahaannya hajat begini. “Semoga, kesepakatan itu
berakhir indah dikedua belah pihak di tanggal yang indah ini,” doanya
wanita berkerudung coklat itu dalam hati.
“Huh! Buat apa sih demo terus?” pertanyaan yang tiba-tiba membuat
wanita berkerudung coklat itu sesak. Karena tak disangka keluar dari
mulut salah seorang marganya sendiri, yang bahkan tak ikut dalam
perundingan ini. Padahal nanti keberhasilan dari perundingan ini juga
tak kan ia tolak untuk dinikmati.
“Hm… buat apa ya? Yang pasti semoga bukan untuk foya-foya.” jawab wanita berkerudung coklat itu. Ketika tak lama kemudian, pertolongan datang.
Kesepakatan perundingan itupun selesai, seiring dengan kesepakatan
antara wanita berkerudung coklat itu dengan dirinya sendiri, dalam
menyelesaikan harap selama ini menjadi ikhlas menyemai hati.
“Oh, tugas skripsi sudah menanti! Yuk mariiii….” pamitnya pada Mentari.
Karawang, 12-12-12.
Djayanti Nakhla Andonesi
0 komentar