Pendahuluan Tulisan
Maret 16, 2016Bab 1
(Pendahuluan)
1. Iqra! Iqra bismirobbik!
Bacalah! Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, Allah!
Mendahulukan untuk menyebut nama Allah dalam aktifitas apapun merupakan langkah kebaikan. Merupakan sikap orang beriman.
Mendahululan untuk menyebut nama Allah dalam kegiatan kita, akan membuat kita selalu sadar, bahwa kita selalu diawasi oleh Allah Swt., kapan pun dan di mana pun. Sehingga, akan terasa tidak wajar bila kita melakukan perbuatan yang dimurkai-Nya.
Mendahulukan untuk menyebut nama Allah dalam setiap hembusan nafas kita, berarti melatih jiwa kita untuk selalu menyadari, bahwasannya tak ada daya dan upaya sedikitpun selain dari daya dan upaya yang berasal dari kekuatan-Nya.
Mendahulukan untuk selalu, dan selalu menyebut nama Allah, dalam setiap detak jantung kita, berarti mendidik jiwa kita, agar senantiasa dekat dengan-Nya. Karena hanya orang-orang yang dekat dengan-Nya lah yang mampu melihat keagungan dari tanda-tanda kebesaran-Nya, yang mampu meresapi setiap hikmah dan mengambil ibrahnya, yang mampu mensyukuri apapun nikmat dan karunia-Nya, yang mampu menguatkan jiwa. Dan hanya orang-orang yang dekat dengan-Nya lah yang bisa merasakan lezatnya iman.
Maka, iqra, iqra bismirabbik!
Termasuk, bacalah tulisan ini, dengan mendahulukan menyebut nama Tuhanmu, Allah. Agar, ketika berselancar di dalamnya, Allah karuniakan petunjuk yang berguna di dunia dan akhirat bagi kita semua, khususnya bagi siapa saja yang beriman.
Ah, iman. Mendengar kata itu, barangkali ingatan kita akan melesat jauh ke masa lampau. Masa di mana kita duduk di kelas, mendengarkan guru agama kita menjelaskan apa itu iman, sementara sebagian kita -murid-muridnya kala itu- ada yang mengantuk karena bosan, ada yang usil tak memperhatikan pelajaran, ada yang melamun apakah masih bisa membeli baju lebaran atau tidak, ada yang sesekali menyimak apa yang dikatakan gurunya tersebut namun masuk telinga kanan langsung keluar telinga kiri, ada juga yang ingin buru-buru mengakhiri pelajaran karena perut sudah keroncongan ingin makan siang.
Ah, entah yang manakah sikap kita dahulu saat mendengarkan penjelasan guru agama kita mengenai iman ini. Terlepas dari kurang kreatifnya cara pengajaran dahulu. Namun tentu kita tak berhak menyalahkan guru, karena memang kita lah yang keliru, karena tak benar-benar memperhatikan.
Dan ternyata, barulah sekarang kita merasa menyesal, mengapa tak sedari dulu sungguh-sungguh mendalami dan memahami pelajaran agama. Karena, setuju atau tidak, agama lah yang sangat krusial bagi kehidupan kita. Sampai-sampai, B.J Habibie, seorang jenius yang IQ nya diketahui paling tinggi abad ini, yang telah berhasil membelalakan mata dunia atas jerih payahnya membuat pesawat pertama di Indonesia, berkata lirih, bahwa andaikan dari dulu saya tahu pentingnya agama, maka saya akan mempelajarinya lebih dalam, begitu kurang lebihnya beliau mengatakan.
Lalu, apakah berarti kita tak boleh mempelajari ilmu lain selain ilmu agama? Bukan. Bukan begitu maksudnya. Tak ada dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu lain. Karena sesungguhnya semua ilmu yang ada di muka bumi ini milik Tuhan, karena berasal dari Kalam-Nya.
Namun, yang mesti kita garis bawahi adalah, di antara ilmu-ilmu lain yang sangat banyak ini, hendaklah kita mendahulukan ilmu agama. Agar kita bisa beragama dengan benar. Tidak sesat atau menyesatkan. Tidak keliru dan mengelirukan.
Karena, bila kita mendahulukan untuk mempelajari ilmu agama dengan baik dan benar, justeru kita akan merasakan harmonisasi yang nyata, bahwa apapun ilmu yang kita pelajari bila kita sudah mempunyai bekal agama yang benar, insya Allah kita tidak akan terperosok ke jurang kekufuran, kemaksiatan atau kedzaliman.
Ilmu agama yang dipahami dengan benar, tentunya akan sangat bermanfaat bagi kita semua. Karena bila kita paham agama dengan benar, kita akan memanfaatkan ilmu-ilmu lain seperti sain, sastra, teknologi, dan lain-lain, dengan tujuan yang baik, demi kemashlahatan umat, demi kebaikan bukan sebaliknya.
Apalagi di zaman uedan sekarang, kita harus benar-benar terisi dengan ilmu agama yang benar. Agar hidup tak salah arah, tak salah langkah, pun tak salah kaprah.
Termasuk agar kita tak salah kaprah dalam mengartikan makna sabar.
2. Apakah itu sabar?
Saya haqqul yakin, siapapun yang membaca tulisan ini, pasti sudah tahu hal ini. Mungkin sangat sering atau bahkan bosan mendengar kata ini, sabar.
Ya, sabar terkadang adalah perkara yang mudah diucapkan, namun amat sulit untuk dilakukan. Apakah Anda setuju dengan kalimat barusan?
Setuju atau tidak, kenyataannya memang banyak yang lebih mudah mengatakan sabar, ketimbang benar-benar mempraktekkannya.
Bukan hal yang aneh memang bila kita mendapati hal demikian. Namun, barangkali kita perlu menelisik lebih jauh. Mungkin ada yang salah paham dengan kata sabar ini. Mungkin ada yang kurang jelas memperhatikan guru kita sewaktu kecil mempelajarinya. Sehingga, sangat sering kita dapati penempatan sabar di tempat yang tidak semestinya, seperti kisah berikut ini.
...
Suatu ketika, ada seorang pemuda yang mendatangi pacarnya, dia berniat untuk melakukan hal-hal maksiat. Namun, saat itu pacarnya menolak keinginan pemuda tersebut.
Sang pemuda pun menceritakan kegagalannya dalam mengajak maksiat tersebut kepada temannya. Lalu sang teman berkata, "sabar ya, bro!"
***
Alkisah, ada seorang pencuri yang sedang ditraining oleh seniornya. Pencuri amatir tersebut diarahkan untuk sabar terlebih dahulu ketika melihat situasi tidak kondusif untuk mencuri. Sang senior mengajarkan agar pencuri amatir itu mampu membaca situasi dengan sabar agar bisa mencuri di saat yang tepat. Sang pencuri amatir itu pun menuruti seniornya.
***
Astagfirullah, sungguh, sabar yang dimaksudkan pada penggalan contoh-contoh di atas adalah sabar yang salah kaprah.
Sama sekali tidak tepat, bila sabar dilekatkan pada prilaku yang buruk. Sama sekai tidak benar, bila sabar disematkan pada hal kemaksiatan.
Karena, Islam tidak mengajarkan sabar dalam kemaksiatan.
Allah dan Rosulnya telah mengajarkan kepada kita semua tentang sabar yang benar. Sabar yang sebenar-benarnya sabar. Sabar yang tidak diperuntukkan dalam keburukan, melainkan sabar yang diperuntukkan pasa kebaikan dan pada kebenaran.
Sebagaimana dalam Q.S. Al-'Ashr, dijelaskan,
"Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman. Yang mengerjakan amal shalih, yang saling nasehat-menasehati dalam kebenaran, dan yang saling nasehat menasehati dalam kesabaran."
Maka, bila kita beriman insya Allah kita tidak akan rugi. Bila kita beriman, berarti kita harus mengerjakan amal shalih. Bila kita beriman berarti harus mau memberi dan menerima nasehat, dan harus berada dalam kebenaran. Bila kita beriman, maka kita harus sabar.
Penting diingat, bahwa dalam Q.S Al-'Ashr, sabar diletakan dalam satu kalimat, bersama amal shalih dan kebenaran.
Maka, bila sabar yang digunakan dalam hal kedzaliman, atau kemaksiatan, dan sebagainya, itu bukan sabar.
Untuk itu kita harus sabar sekaligus beramal shalih dan berada di posisi atau jalan yang benar menurut-Nya.
Lebih lanjut soal sabar, tunggu tulisan saya selanjutnya, ya. Doakan buku saya tentang sabar ini, bisa terbit tahun 2106 ini, aamiin.
:)
See you!
^^
Djayanti Nakhla Andonesi
2 komentar
Amiin, saya tunggu dengan duduk manis sama chacha ya. Sukses bukunya ya DJ. Semangat menulis
BalasHapusAamiin,makasih mama fatihfay ;)
Hapus