Selagi Hayat Di Kandung Badan
November 12, 2020
Seseorang membuat saya melipir ke pinggir jalan. Sudah beberapa
kali memang saya melihatnya ada di tepi jalan kampus itu. Namun, saya belum berkesempatan
untuk menghampirinya.
Maka, ketika ada kesempatan itu datang, saya yang baru saja
pulang dari mengantarkan pesanan HNI pada mitra, tak berpikir dua kali lagi.
Beliau sungguh membuat takjub, di usianya yang sudah senja, beliau masih mau bekerja keras dengan cara yang halal.
Dengan menggunakan sepeda, beliau menjual perlengkapan edukasi,
seperti buku bacaan, buku calistung, buku merwanai, alat tulis, dan banyak lagi termasuk
buku-buku untuk belajar membaca Al-quran.
item-item yang ada di dalam kotak
jualannya itu sebagiannya membuat saya bernostalgia dengan kehidupan saya
ketika kecil, yakni mengaji di mushola. Karena sang kakek menyediakan buku
legend, yang pada zaman dan daerah saya terkenal dengan sebutan ‘tuturutan’.
Memori saya langsung tersedot ke tahun 1990an. Saya dan
teman-teman mengaji sangat akrab dengan tuturutan tersebut. Dulu belum ada yang
kenal metode ummi, wafa, dsb. Namun begitu, metode tuturutan yang diajarkan
oleh para asatidz kami saat itu sudah sangat cukup bagi kami untuk belajar
membaca alquran.
Walaupun kami dari pagi sampai siang sekolah, lalu setelah
dzuhur sampai selesai ashar kami ke madrasah, tidak menyurutkan semangat kami
untuk melanjutkan belajar mengaji setelah magrib hingga isya. Mungkin karena
teknologi juga belum berkembang seperti sekarang ini ya, jadi semua itu kami lalui
dengan asyik dan seru sekali.
Bahkan saya masih ingat momen-momen dimana setiap akhir
pekan, kami berbondong-bondong ke mushola kami untuk bersih-bersih. Rasanya ada
yang hilang, jika kami melewati hal itu, apalagi setelah bersih-bersih mushola,
kami juga main berbagai permainan tradisional di lapangan atau di jalanan sepi
di samping mushola.
Cung, siapa yang juga pernah mengalami itu semua?
Hm, kalau sekarang mana bisa, karena sudah menipis stok
lahan yang bisa digunakan untuk bermain bersama-sama.
Tapi, kita tidak boleh berkecil hati, kan. Semua ada
masanya. Dan sekarang walaupun momen-momen itu tidak bisa dirasakan oleh orang
yang tinggal di perkotaan, setidaknya momen-momen itu mungkin masih bisa
dirasakan oleh banyak teman-teman kecil kita yang tinggal di pedesaan.
Ah, terima kasih kek, sudah mengingatkan saya dengan keindahan momen saat masih kecil dulu.
Nah, saat saya sedang memilih-milih item yang akan saya
beli, tetiba ada seorang bapak-bapak, yang baru saja turun dari becak. Beliau bertanya
pada sang kakek, tentang tuturutan itu. Rupanya sang bapak tersebut juga ingin
belajar membaca quran, masyaAllah.
sang bapak sedang memegang tuturutan yang akan dibeli |
Saya terharu mendengar percakapan sang bapak tersebut yang
tanpa diminta, langsung bercerita kepada sang kakek dan saya yang kebetulan ada
di sana tentang keinginan hebatnya itu.
Dan dengan baiknya, sang kakek memberikan diskon dari harga buku tuturutan tersebut untuk sang bapak. Betapa bijaksananya pula, sang kakek pun menyemangati si
bapak untuk terus belajar. Saya ikut memotivasi sang bapak, karena saya pun
jadi termotivasi lebih lagi untuk belajar.
MasyaAllah yang sudah ‘berusia’ saja tidak patah semangat untuk belajar
membaca quran, masa kita yang masih mudamuda kalah semangat dalam membaca
quran?
Yuk ah, semangat teman-teman. Karena tidak ada kata terlambat untuk belajar, bukan? Selagi hayat di kandung badan, maka selama itu pula kita masih diberi kesempatan untuk belajar, lagi dan lagi.
Oh ya, sang kakek dengan baik hatinya memberikan bonus ‘penunjuk
tuturutan’ pada kami yang membeli barang jualannya. Kebetulan saat itu saya
sendiri hanya membeli crayon, buku berwarna, dan buku bacaan saja. masyaAllah,
baik sekali sang kakek! Plus beliau juga sangat sopan dan teduh sekali personanya. Barokallahu fiik, kek. aamiin.
Sebagai info, sang kakek yang kalau tidak salah berkediaman di Wadas ini, biasanya beliau mangkal di tepian depan UNSIKA, atau terkadang terlihat mangkal juga di seberang sekolah SMP yang ada di perumnas/BTJ.
Teman-teman yang kebetulan melihat beliau, dipersilakan
untuk membeli barang-barang dagangannya, siapa tahu dengan niat kita membantu
membeli jualannya, membuat sang kakek senang! Menyenangkan orang yang berjihad
di jalan Allah (orang yang berjuang menafkahi keluarganya dengan bekerja keras --termasuk dengan berdagang yang halal-- juga termasuk jihad lho), mudah-mudahan
bisa mengetuk pintu ridho Allah untuk kita ya. Aamiin.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya, ya!
Semangat teman-teman.
Salam,
Djayanti nakhla
11 komentar
Masya Allah terharu dengan keuletan dan keramahan bapak berdagang semoga sehat selalu pak aamiin, terima kasih say sudah berbagi kisah ini...
BalasHapusYa Allah terharu, mereka tetap semangat belajar meski tak muda lagi. Juga salut untuk bapak penjual buku, semoga kelak usaha itu jadi amal jariyah beliau karena membantu sesama yang mau belajar. Aamiin...
BalasHapusSaya baru tahu yang namanya Tuturutan, soalnya belajar ngaji pakai Iqra. Mungkin karena beda generasi kali ya Mbak, atau beda lokasi. Terlepas dari itu, semoga si Bapak Penjual Buku selalu dalam lindungan Allah. Dia adalah salah satu dari banyaknya guru kehidupan di sekitar kita
BalasHapusTernyata turutan masih dicetak, ya... Jadi pengen beli
BalasHapusaku gak familier dg tuturutan, padahal bocah 90-an juga. dulu itu sebutannya alipan, covernya gak inget krn di langgar semua alipan covernya pada robek, wkwk
BalasHapusSubhanallah dermawan sekali bapaknya, dengan laba tak seberapa masih ngasih bonus ke pembeli. Mungkin ini yang disebut marketing langit ya kak?
BalasHapusDi kota Bengkulu, ada beberapa tempat yang juga menjual buku legend kayak gini dan kebanyakan yang jual emang yang paruh baya, yang sering kutemui yang dipasar suka juga beli poster buat anak belajar sama kakeknya. harganya juga bersahabat
BalasHapusMasyaAllah, semoga si kakek selalu sehat dan bahagia. Dan kita juga jgn mau kalah ya dengan mereka yang sdh berusia tapi tetap semangat belajar. Semoga dipermudah si bapak yg beli buku tadi belajarnya. Aamiin
BalasHapusAih adem banget Kak bacanya huhu, auto flashback jadinya, dulu suka ada ibu ibu yg jualan buku keliling, yang dijual buku legend juga. Semoga mereka tetap bertahan untuk jualan buku
BalasHapusbaru tahu nih yang tuturutan ini. kalau saya dulu kayaknya belajar ngajinya pakai iqra. kalau sekarang makin banyak ya metode belajar mengaji buat anak-anak
BalasHapusZaman kecil ngaji agak jauh dari rumah. Senang kumpul dengan teman.
BalasHapusSekarang anak-anak pakai WAFA mengaji nya. Iqro kadang-kadang aja.