Shift Dua
Desember 11, 2012Tulisan ini dipindahkan dari akun wordpress saya
***
Shift Dua
Kupilih kursi bus deret dua, dekat jendela yang terbuka. Sengaja agar
aku dapat merasakan bisik angin yang menyapa. Atau sekedar memastikan
langit baik-baik saja, meski mendung tak bisa ia sembunyikan dari
wajahnya. Mungkin sebentar lagi, rombongan air akan turun menjejakan
diri ke bumi. Tak masalah bagiku. Hujan ataupun tidak. Aku tetap
menyukai langit dan bumi. Sayup ku dengar, Ashar berkumandang memenuhi
keduanya.
Dua orang bocah, jika ia masih sekolah, ku taksir sekitar kelas dua
sekolah menengah pertama. Memainkan lagu-lagu yang ia hafal. Untuk
dipersembahkan pada hadirin penumpang bus Hiba yang kutumpangi ini. Tak
jelas benar apa yang mereka dendangkan. Namun yang jelas, mereka adalah
anak bangsa yang terpaksa menjadi seniman jalan raya. Bila tak terpaksa,
mestinya kini mereka sedang mengeja logaritma di kelas sana. Eh, tapi
bukankah hidup ini bukan matematika sepenuhnya? Mesti ada seni yang
menyertai. Hmm, barangkali memang seni menjadi daya tarik tersendiri
untuk aktualisasi diri mereka, meski caranya sering nelangsa. Atau
sebenarnya mereka bahagia-bahagia saja dengan hal demikian?
Hmm, aku tak tahu rumus mana yang mesti digunakan untuk menentukan seseorang bahagia atau sebaliknya.
Di jembatan Badami, dua bocah tadi turun, tak sampai ikut ke Pabrik di mana kami bekerja.
Sayang sekali. Padahal aku ingin mengenalkan pada mereka bagaimana mesin-mesin bisa menjadi manusia. Atau
ingin sekali ku ajak mereka keliling bertamasya di dalam Pabrik.
Rasanya mereka pasti akan mengatakan ‘seru!’. Meski kutahu itu tidak
mungkin sama sekali.
Baiklah Nak, semoga kehidupan kalian selalu beranjak menuju sejahtera. Aamiin.
Dua langkah kakiku seturun dari bus, sudah disambut gerimis. Alhamdulillah… Karawang
menjadi lebih adem. Ku lanjutkan langkah menuju loker, kemudian tanpa
harus berlari, ku biarkan hujan menari di atas kepalaku yang tanpa
payung, menuju ruangan di mana ku bekerja.
Dan sudah dua orang yang bertanya padaku, apakah aku benar-benar masuk sift dua atau bukan.
Aku jadi geli sendiri, sampai seheran itukah mereka?
Hmm… mungkin karena aku sering sekali tukar sift. Sehingga, kawan-kawanku bingung aku ini grup mana. Kesannya nomaden banget gitu ya… Haha.
Ah, sudahlah. Aku tidak harus menjelaskan pada mereka satu persatu kan? Tentang mengapa aku sekarang sift dua.
Dua pesan ku terima. Dari dua sahabatku. Intinya, mereka memberikanku
suntikan semangat untuk melaksanakan ibadah bekerja. Ah, mereka seolah
tahu saja bahwa aku sedang membutuhkan kalimat itu.
Dua menit berlalu. Aku masih mengamati mesin yang ada di depanku,
setelah dua hari sudah kami tak bertemu. Mesin buatan jepang sepenuhnya
sekaligus menjadi yang paling besar di ruangan ini seperti tersenyum
padaku. Senyumnya dan dua mesin yang menjadi adik-adiknya, hanya aku
yang mengerti. Hehe.
Tapi giliran mereka ngadat, aku belum begitu mengerti untuk bagaimana mengembalikkan senyumnya.
Dua orang wanita, dan disusul dengan yang lainnya, yang berpapasan
denganku menuju kantin saat bel istirahat berbunyi, menyadarkanku bahwa
aku tidak sendirian di sift ini. Hehe. Dan jauh di lubuk hati, aku
merindukan adikku yang ada di sift lain. Intan, namanya.
Makanan yang didapat sepulang sift dua, sudah ku telan jam dua pagi.
Sambil mengingat-ingat, kronologi hari tadi. Entah mengapa, rasanya
kerja kali ini dengan semangat begitu jauh sekali. Ku ceritakan kepada
sahabatku, “mungkin kau kecapean… aku juga hari ini begitu,” begitu sahut sahabatku.
Hmm… aku memohon ampun pada Ilahi. Barangkali aku lupa bersyukur hari ini.
Tapi feelingku memang tidak enak terus sejak tadi. Ada apa ya?
Karawang, 11 Desember 2012/ 27 Muharram 1434H.
Djayanti Nakhla Andonesi
0 komentar