Shift Tiga
Desember 03, 2012Tulisan ini dipindahkan dari akun wordpress saya.
Sift Tiga, Tiga Desember 2012
Hari ini, tanggal tiga desember dua ribu dua belas, dan aku pertama kalinya lagi bekerja sift tiga.
Jadwal kerja yang dimulai tengah malam sampai matahari menandakan dhuha.
Aku pergi tepat jam sebelas malam hari minggu. Kurang dua jam lagi untuk sampai tanggal tiga.
Tapi peraturannya memang begitu; waktu masuk kerja adalah pukul 00.20
dini hari, berarti si buruh pabrik sepertiku, berangkat dari rumah tiga
jam lebih awal dari jam masuk. Mengikuti jadwal penjemputan Bus Pabrik.
Hari ini tanggal tiga desember dua ribu dua belas, dan aku pertama kalinya lagi bekerja sift tiga.
Setelah sejak lima belas oktober lalu aku dinon siftkan sementara.
Karena keperluan perusahaan untuk melakukan training pada karyawan baru di shop kerjaku;
yang baru saja ditinggal oleh kedua partner kerjaku. Ditinggalkan
dengan dua alasan. Yang pertama karena dipindah bagian-kan. Yang kedua
adalah karena me-resign-kan diri, karena mengikuti suaminya tinggal di Tangerang.
Nah, dua orang yang training untuk menggantikan mereka, kini sedang di uji klinis oleh atasan yang bersangkutan.
Hari ini, tanggal tiga desember dua ribu dua belas, dan aku pertama kalinya lagi bekerja sift tiga.
Waktu bekerja yang unik, di mana aku diajak takdir untuk
merasakan empati, karena pada saat yang bersamaan, ada orang-orang yang
rela berjibaku malam-malam buta, demi menyambung hidup; tentunya dengan
cara yang halal, di saat sebagian manusia yang lain sedang terlelap,
terbuai mimpi.
Aku diajak takdir untuk memaknai malam, karena pada saat
yang bersamaan, ada orang-orang yang rela
bertekuk lutut sujud di atas
sajadah, bermunajat panjang… panjang sekali. Sampai airmata mereka
menganak sungai mencahayai bumi. Jauh di lubuk hatiku, aku menyesalkan waktu-waktu luangku bila tidak
sedang sift tiga yang jarang diisi dengan hal yang sama seperti mereka.
Aku diajak takdir untuk mengerti rasi bintang.
Bahwa bintang yang paling terang bukanlah yang ada di langit sana.
Tapi ada di setiap jiwa manusia, yang berani mensyukuri hidup atas apa yang dimilikinya.
Dan, aku pun diajak takdir, untuk menikmati semua proses
perjalanan hidupku. Hingga aku memaknai, bahwa hidup terlalu berharga
untuk disesalkan, apalagi disia-siakan.
Djayanti Nakhla Andonesi, di Kamar Jiwa.
Karawang, Tiga Desember 2012/ 19 Muharram 1434.
0 komentar