Sumber gambar: antarkata.blogspot.com |
Secangkir kopi seven elemen karya anak bangsa, sudah terhidang di depanku. Kusesap perlahan. Kunikmati dalam-dalam. Efeknya menenangkan. Tetapi, memang tak bisa menghalau tanda tanya besar dalam diriku terhadap banyaknya fenomena yang juga terhidang di depan mata.
Sumber gambar : FP Abdillah Onim. Maaf, ga tega share tubuh korban warga Aleppo nya :() |
Aku terhenyak. Membaca kabar. Aleppo semakin mengenaskan. Rezim Assad semakin mengerikan. Hak Asasi Manusia sudah tak lagi diindahkan. Keadaannya sudah berada di luar batas akal dan jiwa sehat kemanusiaan. Anak-anak yang tiada berdosa, wanita-wanita muslimah yang teraniaya, dan orang-orang mukmin semuanya dibantai begitu keji oleh pemimpin yang berdarah syi’ah laknatullah itu, dibantu oleh sekutu-sekutu vampirnya. Kita sudah tahu, siapa saja sekutunya, antara lain : Rusia, Cina, dan Iran. Mereka punya nafas yang sama. Komunis.
Dan aku lebih terhenyak, ketika mengetahui, kepala negara dari muslim terbesar di dunia, mengambil langkah ‘abstain’ saat voting untuk membela kaum yang tertindas lahir batin di Aleppo sana. Dengan dalih, non blok? What? Alibi itu laksana alibi kehilangan fungsi helicopter yang bisa saja kapanpun membawa kepala negara bertemu dengan rakyatnya saat aks beberapa waktu lalu. Tak masuk akal.
Sumber gambar: FB Amin ben Ahmed |
Salah seorang Dosen Komunikasi, Maimon Herawati, ketika ditanya oleh Majalah Haramain tentang bagaimanakah posisi dan peran Indonesia terhadap konflik Timteng, khususnya terhadap para pengungsi? Uni Maimon menjawab : Indonesia ini negara terbesar berpenduduk muslim. Tentu saja perannya adalah peran yang terbesar, JIKA INGIN MENGAMBIL PERAN. Peran mediasi politik, peran bantuan kemanusiaan, sampai peran penyatuan faksi-faksi bertikai dengan pendekatan keagamaan. Tapi, ada goodwill tidak dari pemerintah yang berkuasa (sekarang)? (Sumber dari Rumah Imun)
Ya. Aku sepakat dengan pernyataan Uni Imun di atas. Idealnya, pemerintah Indonesia mestinya lebih gesit dari Australia yang sudah membuka lebar tangannya untuk membantu Aleppo. Atau lebih tangkas dari penduduk Jepang yang konon ateis untuk menyuarakan ketidakberpihakkannya kepada rezim Assad dan para sekutunya. Paling tidak, jangan pura-pura tuli. Apalagi Abstain saat dimintai kepedulian sisi politiknya, yang justeru punya pengaruh besar. Jangan malah menunjukkan sikap mesra terhadap rezim yang justeru menjadi sekutu vampir Assad. Itu sama sekali tidak lucu, jika itu bagian dari dagelan. Karena, andai pemerintah saat ini mau lebih mendengarkan suara kemanusiaan dibanding suara non-kemanusiaan, Indonesia sudah pasti berada sejajar dengan pemerintah Turki atau Arab Saudi yang tanpa harus distempel ‘blusukan’, mengulurkan tangan kepada Aleppo yang tertindas.
Beringsut sejenak dari kekecewaan terhadap sikap pemerintah kita, aku terhenyak lagi. Ternyata Timnas sepak bola Indonesia main putaran pertama Agrerat, di Thailand, tanpa Andik. Tak apa. All is well. Ada tidaknya Andik, aku yakin Timnas tetap solid.
Menjadi penonton memang lebih mengasyikan ketimbang menjadi pemain. Apalagi saat seluruh lapangan bisa kita lihat dengan utuh lewat layar kaca tanpa harus membeli tiket dan segala akomodasinya. Entah mengapa, menjadi penonton, kita jadi lebih pintar padahal belum tentu bisa apa-apa, hehe. Maka awal-awal, sebagai penonton amatir, saya merasa bosan karena cara pemain kita yang hobi bermain api, yakni bermain di dekat gawang sendiri. Tak juga mau maju.
Mungkin efek terlalu lama dijajah Belanda, sehingga sulit untuk melangkah maju berinovasi. Atau mungkin efek terlalu lama kita dihadirkan oleh gosip-gosip picisan. Seperti misalnya, bertepuk sebelah tangannya Subatsa pada Sailormoon. Atau gagal move-on nya Doraemon dari Dorayaki. Sehingga, permainan menjadi tidak imbang. Ah, mulai ngacapruk. Hehe.
Hingga akhirnya, Indonesia kebobolan. Skor pertama 0-1. Ekspresi Bung Riedl sungguh unik. Kebobolan atau tidak, mimiknya tetap khas mempertahankan kedatarannnya, mungkin terpengaruh oleh bentuk televisi yang saat ini sudah tak lagi memproduksi yang cembung. Hanya bedanya, jika kebobolan dan attau pemain yang dilatihnya dengan penuh kasih sayang itu melakukan kecerobohan, maka kepala Bung Riedl akan geleng-geleng. Lalu melakukan aktifitas keren yang jarang dilakukan pelatih lainnya, namun sangat dianjurkan oleh agama Islam, yakni mencatat.
Aku jadi membayangkan. Sesungguhnya Bung Riedl geleng-geleng karena NKRI kebobolan banyaknya imigran illegal asing. Karena, mau dibilang hoax atau bukan, kenyataanya banyak imigran illegal asing yang sekarang memenuhi lapangan kerja di Indonesia, dari yang terang-terangan ‘mengibarkan’ bendera asal negaranya di bumi pertiwi ini sampai yang mengendap-endap di tanah-tanah yang masih sepi dan ‘perawan’. Bung Riedl barangkali sedang geleng-geleng, karena bagaimana mungkin hal ini dibiarkan begitu saja, sementara warga negara Indonesia yang legal saja masih banyak yang butuh perhatian, butuh pekerjaan, dan butuh penghidupan yang layak di negerinya sendiri.
Sumber gambar: theogozz.blogspot.com |
Ketika akhirnya, Timnas mulai bergerak maju, barangkali Timnas menyerukan kita agar bangun dari kenyataan. Bahwa memang tidak bisa bermain api di depan gawang sendiri. Kita tidak bisa menunggu mereka lelah. Yang ada kita yang sering lengah. Maka, harus ada upaya ekstra untuk maju rapatkan barisan, mempertahankan tanah air kita ini. Ya, karena sering kali, kesadaran untuk bergerak lebih ekstra timbul setelah kita kecolongan. Padahal sungguh, mempertahankan NKRI adalah harga mati, bukan harga diskon.
Penonton stress, pemain lebih stress lagi, ketika skor bukannya berimbang malah makin menguntungkan kaum lawan. Skor 2-0. Kita harus akui, masih dari kacamata penonton amatir, tim Thailand lebih terorganisir, lebih kuat, dan lebih siap, mungkin karena disuntik semangat pendukungnya yang memenuhi hampir seluruh stadion. Atau bisa jadi, seperti yang temanku bilang, bahwa Dewi Fortuna mungkin sedang malam mingguan sehingga tidak berada di pihak Indonesia. Membuatku berseloroh, kalau memang Dewi Fortuna sedang tak berpihak, masih ada Dewi Sandra, atau Dewi Kwan In beserta biksu Tong Sang Chong dan seperangkat muridnya yang sedang mengambil kitab suci. Yah, gurauan macam itu memang timbul dari penonton yang frustasi sepertiku yang tak bisa berbuat apa-apa. Hahaha.
Akhirnya, aku ditakjubkan oleh seorang Meiga Kurniawan. Dia adalah orang yang paling banyak menerima gempuran lawan. Dan yang membuatku takjub bin salut adalah, ditengah kondisi permainan yang sungguh membuat stress itu, dia tetap bisa menghandle pinalti. Jika Maradona dijuluki ‘tangan Tuhan’, maka izinkan aku menjuluki Meiga si ‘Kaki Malaikat’. Karena nyaris saja, kalau kakinya terlambat menghadang, penonton Indonesia dijamin semakin frustasi. Hehehe.
Di antara petikan hikmah dari permainan ini, Meiga si ‘Kaki Malaikat’ sungguh membuatku lebih sadar. Bahwa kita butuh mental sepertinya. Karena pada saat teman-teman Timnya mulai buyar fokusnya, sangat buyar, sehingga overran bola dan tendangannya terlihat teu pararuguh, Meiga tetap fokus hingga dia berhasil menyelamatkan gawangnya meski seorang diri.
Sumber gambar : rebutbola.com |
Ah ya, ini ibroh yang sangat luarrr biasa menurutku. Masih ingat kan dengan kasus yang membuat kita berkumpul di silang Monas? Ya, ibroh dari fokusnya Meiga mestinya menjadi pengingat kita juga, agar kita tak lengah dan gagal fokus dalam menegakkan keadilan di bumi pertiwi ini, hanya karena provokasi media dan tangan-tangan dzalim lainnya. Kita harus fokus, untuk terus menanamkan semangat #spirit212, agar senantiasa membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan, dimana saja berada, seperti kerabat, tetangga, warga korban gempa di Aceh, sampai warga korban kesintingan rezim Assad di Syiria. Umat Islam harus lah fokus, bersatu pada kesamaan rasa iman di dada, bukan terpecah-pecah disebabkan virus komunisme, liberalisme, sekulerime, atau terkotak-terkotak karena berada di bawah naungan lintah berkedok dollar.
Saatnya umat muslim bersatu dan fokus pada satu tujuan. Yakni, amar makruf nahyi munkar. Amar makruf mungkin mudah, tapi nahyi munkar sungguhlah membutuhkan kebulatan tekad dan kerapatan barisan. Menjaga iman di dada, sekaligus menjaga kesatuan NKRI tercinta ini. Karena, kita pun tahu, ajaran Islam tak bertentangan dengan Pancasila, tak bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika, pun ajaran Islam kita jua lah yang menjadi lecutan semangat untuk terus menjaga keutuhan NKRI ini.
Hanya orang-orang yang sakit jiwa saja lah yang masih saja membentur-benturkan ajaran Islam dengan stigma-stigma negatif dan provokatif, sehingga mencoreng moreng wajah Islam yang sesungguhnya damai.
Maka, cukuplah Allah sebagai satu-satunya tujuan kita dalam melakukan seluruh amal kehidupan di dunia ini. Dan kepada-Nya lah kita berlindung. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’man nashir.
Aku menghela nafas. Kopi seven elemenku sudah tandas sedari tadi. Mendadak menyeruak lagi pertanyaan, apakah kegagalan Timnas AFF untuk menjadi juara pertama kali ini adalah tamparan bagi pemerintah kita yang telah abstain dari peran politiknya dalam menolong Aleppo? Entahlah. Ini hanya pertanyaan dari keresahan pribadi. Tak usah dijawab karena ini bukan Ujian Nasional. Karena bisa jadi ini tamparan bagiku sebagai penonton amatir yang mungkin belum maksimal dalam berdoa, atau barangkali tamparan bagi diriku pribadi karena tidak khusyu dalam menegakkan shalat di atas bumi ini. Wallahu a’lam.
Betapapun, aku tetap berterima kasih kepada Timnas Indonesia yang sudah berjuang mengharumkan negara ini. Karena paling tidak, bau tidak sedap atas prilaku-prilaku kronis atau menyimpang sedikit meruap.
Dan betapapun, semoga kita tak akan bosan mengulurkan bantuan yang kita mampu, doa, tenaga dan harta, bagi saudara-saudara kita di Aceh hingga Aleppo sana. Karena hidup yang hanya sekali ini, akan menjadi bukti otentik kita di akhirat kelak.
Salam,
Djayanti Nakhla Andonesi
Yang Cinta NKRI