Hari Ahad, tanggal 18 oktober 2020 kemarin, kami menghadiri sebuah acara webinar parenting internal Sekolah Alam Amani Karawang, atau yang akrab disebut SAKA.
Dan tahaddus binni’mah bagi saya, webinar parenting ini seolah menjadi hadiah yang Allah berikan di hari spesial saya dan suami yang telah menginjak di 7 tahun pernikahan. Alhamdulillah.
Usia pernikahan yang baru beberapa tahun ini, membuat kami harus banyak belajar lagi menjadi suami istri sekaligus kedua orang tua untuk anak-anak kami. Dan untuk itulah saya selalu antusias mengikuti kegiatan parenting, guna mencharge jiwa yang kadang rempong, menambal amalan yang bolong, mengisi gelas yang juga masih kosong.
Dengan harapan agar kami semua bisa sama-sama sampai ke surgaNya kelak. Aamiin.
Dan, makin antusiasnya lagi, ketika pembicara parentingnya adalah seorang konsultan Psikologi sekaligus konselor pendidikan, yang namanya sudah tidak asing lagi di Karawang, yakni Pak Mego Husodo, S.E, S.psi., M.Fc.
Webinar dimulai dengan prolog pak moderator yang menyentil jiwa saya.
Prolognya begini ;
MANAJEMEN EMOSI ORANG TUA DI MASA PANDEMI
Pandemi selalu terkait dengan perubahan. Ada dari kita yang dapat lebih mantap dan dewasa untuk mempertahankan rasa syukur dan sabar. Ada pula, yang tak mampu bertahan dan hanya dapat memproduksi keluh kesah dalam gundah dan amarah.
Cerita ini tentang tahun-tahun tak terlupakan, tahun di mana kedekatan dan kualitas kita sebagai orangtua membersamai anak diuji. Tahun di mana hati dan pemikiran berjuang untuk setidaknya tetap sehat dalam setiap tekanan ruang dan keadaan.
Sekolah alam adalah sekolah yang tidak haya mendidik anak dan guru. Namun orang tua sebagai pemilik amanah langsung dari Allah SWT atas individu kecil yang terlahir istimewa dari rahimnya.
Sekolah alam tidak memiliki PR (pekerjaan rumah untuk dikerjakan di rumah siswa) karena itu hanya akan membatasi aktifitas siswa yang akan mengganggu waktu kebersamaan siswa dengan keluarga di rumah.
Namun di masa pandemi, semua itu berbeda.
Pandemi ini justeru membuat semua kegiatan seolah menjadi PR. Mutlak untuk dibawa siswa pulang, karena mereka pun tidak bisa masuk ke sekolah.
Menjadi tambahan pekerjaan untuk orang tua dan menjadi beban kembali untuk orang tua di masa pandemi, di saat kesulitan secara ekonomi dan juga secara waktu dan kondisi, keleluasaan untuk hidup saat ini sangat serba terbatas.
Apakah ini keharusan untuk orang tua bersusah payah, berkeluh kesah, dan juga mendapatkan segala tekanan ataupun pressure amanah sekolah untuk mendidik anak?
Jawabannya? Yuk simak uraian berikut ini. :)
Ayah bunda, tema kita kali ini adalah tentang manajemen emosi pada saat pembelajaran daring. Artinya apa? Menata hati.
Yup. Menata hati itu (sebetulnya) paling sulit. Kenapa? Karena hubungannnya dengan latar belakang kita masing-masing.
Dari dulu masalah keluarga alias rumah tangga ya itu-itu saja : penghasilan, anak, hoby dan latar belakang.
Nah pandemi ini berpengaruh kepada itu semua. Karena ini datang tiba-tiba.
Sebenarnya masalah daring dll, andai saja prinsipnya dari awal kita sudah benar, insyaAllah tidak akan begitu ada kendala. Apa prinsipnya?
Peran yang jelas
Contohnya, di dalam keluarga (mestinya) sudah ditentukan betul peran masing-masing. Artinya,ternyata pemimpinannya harus jelas yaitu ayah. Kalau ibu perannya harus apa? Membina cinta dan kasih sayang.
Peran-peran itu harus jelas dulu. Karena kalau peran tersebut tidak jelas, maka masalah apapun akan sangat sulit.
Jadi ayah bunda, menurut Pak Mego, pandemi ini baik. Hikmahnya meregulasi, apakah kita sudah betul belum dalam menjalankan peran?
Kalau masih bingung, pahami dan sepakati dulu tugasnya.
Ayah itu tugasnya mengajarkan tanggung jawab dan kedisiplinan. Tugas bunda itu mengajarkan cinta dan kasihsayang.
Persoalan sekarang adalah, saat sebelum pandemi, anak berangkat ke sekolah. Sekarang, anak belajar di rumah, otomatis ayah yang biasanya bertemu sebentar saja karena sekarang WFH jadi banyak berinterkasi dengan anak, pun ibu yang karena semuanya di rumah dari pagi hingga malam, jadi seolah semakin lelah mengurus semuanya 24 jam.
Pahami, apa aturan dan siapa yang mengaturnya.
Siapa yang bertugas untuk mengaturnya? Seharusnya ya para ayah.
Dengan cara apa? Berikan pijakan spiritual.
Ya, karena setiap keadaan harus diberi pijakan dulu. Bahwa corona ini, tidak perlu ditakuti tapi harus disikapi.
Sehingga, ketika ada PJJ atau ada pertemuan di sekolah ya biasa saja. Bahkan menurut Pak Mego, harusnya daring atau PJJ ini biayanya lebih mahal.
Karena PJJ ini seperti home schooling. Dan home schooling itu mahal biayanya karena betapa spesial kurikulumnya. Nah apalagi ini kurikulumnya sudah diberikan dari sekolah.
Masalahnya :
1. kita ini tidak siap. Dan ada paradigma bahwa sekolah teh ya harus tempatnya di tempat sekolah.
2. kadang-kadang kita terbawa emosi yg tidak stabil, jadi marah-marah.
Seperti di masa pandemi ini kita merasa pendapatan berkurang, ditambah fisik yang lelah, jadi ketika melihat anak tidak bisa diam, kita jadi ikut emosi.
Nah, andai saja orang dewasa meregulasi, sebenarnya ini kesempatan apakah pengasuhan kita ini diterima dengan baik atau tidak. Apakah kita sudah mengerti atau belum dengan perkembangan anak-anak.
Karena perkembangan setiap usia anak itu berbeda-beda. Maka, walaupun kita punya hasrat dan kekhawatiran yang tinggi terhadap anak-anak, tapi mohon dengan sangat agar kita bisa mampu mengelolanya.
Contoh, tentang fokus. Anak itu fokusnya adalah 1 menit x usia anak. Misal, jika anaknya berusia sepuluh tahun, otomatis fokusnya paling banter sekitar sepuluh menitan.
Setelah itu akan kurang fokus, atau butuh jeda terlebih dahulu agar bisa fokus kembali. Sama seperti kita orang dewasa, yang kalau menyimak webinar pun bisa sambil keluar masuk ruangan dulu untuk menyegarkan fokus.
Nah tadi di awal masyaAllah, disebutkan bahwa sebenarnya konsep sekolah alam itu tidak memberikan PR agar meningkatkan kualitas kebersamaan.
Jadi, Intinya apa? Fokuslah beberapa hal ini:
Kebersamaan
Setiap keluarga harus punya waktu istimewa, waktu bersama. Yang menentukan adalah ayahnya. Misal habis magrib. Supaya bisa saling mengingatkan, kalau muslim, bisa tetap halaqoh. Lalu saling berdialog. “menurut kalian, ayah ini kekurangan apa? Lalu setiap anggota menyampaiakan. Gantian dengan bundanya, dan anggota keluarganya.
Lalu, selesaikan bersama, sehingga masalah itu tidak berlarut-larut.
Nah fenomena saat ini adalah : Ada di tempat bersama, tapi tidak punya waktu bersama.
Kenapa SAKA tidak ada PR supaya tidak mengganggu waktu keluarga, luar biasa.
Nah, adanya pandemi ini, jadi bonus.
Hanya saja karena terjadi dengan begitu lama, kita jadi merasa bosan. Sehingga tanpa sadar, kita menyampaikan sesuatu malah jadi sumpah serapah pada anak-anak.
Komunikasi yang tepat
Setelah memiliki waktu kebersamaan, yang harus ditanamkan adalah komunikasi yang tepat.
Nah, kita sebagai orang tua harus paham apa saja yang harus dibangun pada diri anak-anak. Misalnya (disekolah), motorik, kognitif, soial, bahasa. Maka, yang dibangun itu apa dulu.
Nah, supaya tidak stres, kita pro aktif bertanya pada sekolah. Supaya kita tahu apa yang harus dibangun di rumah.
Misalnya, anak saya kalau disuruh baru mau jalan, tanyakan ke sekolah “apa saja caranya membangun afeksi? Sehingga muncul tanggungjawab pada diri anak saya,”
Kita sebagai orangtua sangat dipersilakan koq, untuk pro aktif bertanya ke sekolah. Tidak usah ragu. Karena menurut penelitian sebelum pandemi pun, anak-anak itu berkonflik dengan presentase berikut ini: 11 persen konflik dengan teman sebayanya, 4 persen dengan gurunya, dan 85 persennya dengan ortunya.
Bila sering bermasalah dengan anak, biasanya karena;
- Arogansi orangtua
Contoh, tahapan usia anak kelas 4 itu senang berkelompok, kelas 5 biasanya senang mencoba hal yang di dalam keluarga tidak boleh diperbolehkan.
Nah, sifat orang tua yang selalu mnginginkan apa yang mereka lakukan sesuai dengan yang kita inginkan itulah, akhirnya membuat mereka marah.
Kadang kita heran, kenapa anak-anak marah? Jawabannya karena kita ini selalu (sadar atau tanpa disadari) ingin menguasai anak-anak. Padahal mereka punya cara-cara sendiri untuk rileks.
- Menganggap mereka ‘anak kecil’ terus
Sadar atau tidak, kita selalu merasa mereka anak-anak kecil yang baru berusia di bawah lima tahun terus, walaupun mereka sudah kelas 5 atau 6, misalnya. Sehingga, frekuensinya tidak bertemu dengan yang diinginkan anak. Treatmentnya jadi tidak pas. Karena beda usia, beda juga treatmentnya. Beda usia, beda juga cara menghadapinya. Kita sebagai orang tua harus menyadari itu.
- Rajin mengkritik, kurang mengapresiasi
Ditambah, kelemahan selanjutnya adalah karena orang dewasa lebih suka mngkrtiktik dari mensupport, wkwkwk.
Coba ingat-ingat dan bandingkan, berapa kali dalam satu hari, kita memuji dan mengkritik anak. Lebih banyak mana? Kalau lebih banyak memuji, berarti sudah di jalan yang benar. Tapi kalau dalam sehari selalu lebih mengkritik, maka ada yang salah dengan diri kita.
Yang harus dievaluasi adalah diri kita, orang tua.
Sudah kah kita memberikan yg terbaik pada mereka, sudahkan kita berdamai dengan diri kita sendiri.
Baca juga ; Pentingnya Berdamai Dengan Diri Sendiri
Setiap kepala keluarga harus berdamai dengan masa lalulanya. Karena ini kunci utama untuk membimbing anak-anak ketika sudah diberi amanah.
Kita harus hijrah. Kesenangan harus sudah mulai di atur.
- Beda persepsi
Menurut anak, orang dewasa sering menarik hak yang sudah diberikan kepada mereka.
Misal, saat sudah diberi sesuatu, tapi diambil lagi, plus dengan sikap atau mimik marah-marah.
Atau saat orangtua ngasih uang 50 ribu ke anak misalnya, besoknya habis dan si anak minta lagi, kita sebagai orang tua langsung marah-marah. Padahal mah kan sudah kepemilikan dia.
Jadi, kita harus samakan dulu persepsi.
Kalau memang kita memberikan anak-anak sesuatu, berikan kepercayaan pada mereka untuk mengelolanya. Kalaupun cara mengelolanya salah, tugas kita mengingatkan, dan memberi pijakan yang benar. Sehingga, saat diberikan amanah lagi, mereka bisa menggunakannya dengan lebih bijak.
- Orang dewasa sudah lebih suka merasa benar sendiri
Saat anak-anak berbuat salah, kita selalu merasa yang paling benar. Walaupun memang faktanya benar, tapi kadang cara menyampaikan itu yang kurang tepat.
Sehingga wajar anak-anak kadang-kadang terlihat tidak menerima, karena kita kadang-kadang mengambil jalan pintas, langsung menghakimi. Maka itulah yang terjadi: anak dan orang dewasa jadi tidak nyaman.
Padahal masa anak-anak itu tidak lama koq.
Mereka hanya butuh pijakan, dari cara kita menyelesaikan masalah saat mereka melakukan pelanggaran atau kesalahan atau prilaku negatif.
Dikala kita mampu mengontrol emosi kita dengan baik, nanti anak-anak be like: oh kalau menghadapi masalah itu kayak ayah bunda.
Ya Allah, maafkan kami yang masih belum bisa bersabar, dan selalu bimbinglah kami agar mampu menjadi orangtua yang baik dan bijaksana bagi anak-anak kami, aamiin
Lanjut ke part 2 yaaa :)
Salam,
Djayanti Nakhla Andonesi